Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 26]
Kamis, 18 Januari 2018

Bismillah.

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul-Nya, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka hingga kiamat tiba. Amma ba’du.

Masih melanjutkan pembahasan kita tentang faidah-faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah. Pada bagian sebelumnya telah disebutkan hadits Abu Sa’id al-Khudri yang menunjukkan bahwa timbangan kalimat tauhid lebih berat daripada langit dan bumi, hal ini secara tidak langsung menunjukkan kepada kita bahwa beratnya kalimat tauhid itu apabila disertai dengan keikhlasan dan keyakinan akan bisa menghapuskan atau mengalahkan timbangan dosa-dosa di bawah tingkatan syirik.

Kemudian penulis Kitab Tauhid membawakan hadits berikutnya yaitu hadits Anas bin Malik yang menunjukkan bahwa sebesar apa pun dosa yang dibawa oleh seorang hamba ketika menghadap Allah selama itu berada di bawah tingkatan syirik maka Allah tetap akan mengampuninya. Maksudnya pada akhirnya orang beriman itu pasti masuk ke dalam surga, walaupun karena dosa-dosanya dia harus dihukum terlebih dulu di dalam neraka.

Hadits Anas bin Malik ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa tauhid yang bisa menyelamatkan dari neraka itu adalah tauhid yang bersih dari noda syirik. Dengan begitu setiap muslim wajib meninggalkan syirik besar maupun syirik kecil, karena keberadaan dosa ini menjadi keburukan yang sangat besar dan kejahatan yang amat berbahaya yang bisa menyeretnya ke dalam neraka.

Hadits ini juga memberikan faidah bahwa Allah berbicara, sebagaimana diyakini oleh Ahlus Sunnah berdasarkan dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka kita wajib meyakini Allah berbicara, tidak boleh kita menolak sifat itu atau pun menyelewengkan maknanya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’I rahimahullah, “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sebagaimana yang dikehendaki oleh Rasulullah.”

Hadits ini juga memberikan keterangan bahwa akan ada hari kebangkitan dan pembalasan atas amal-amal hamba. Dan menunjukkan betapa luas kasih sayang dan karunia dari Allah bagi kaum beriman dimana Allah memasukkan mereka ke dalam surga dan mengampuni dosa-dosa mereka sehingga bisa selamat dari kekalnya azab neraka. Padahal mereka telah melakukan dosa yang sedemikian banyak. Hal ini tidak lain disebabkan pahala tauhid yang sedemikian besar di sisi Allah sehingga bisa mengalahkan timbangan dosa-dosa. Hadits ini pun menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah untuk membantah kaum Khawarij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka. Sebab hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa syarat ampunan itu adalah bersih dari syirik.

Hal ini pun telah diterangkan pada pembahasan sebelumnya mengenai kandungan faidah dari ayat ke-82 surat al-An’am beserta hadits Ibnu Mas’ud yang menjelaskannya, bahwa yang menjadi syarat untuk bisa mendapatkan keamanan dan petunjuk -sehingga akan menyelamatkan dari neraka dan memasukkan ke surga- itu adalah tidak mencampuri imannya dengan syirik. Walaupun tentu saja tidak sama keamanan dan petunjuk yang diraih oleh pelaku dosa besar di bawah tingkatan syirik dengan orang yang bertaubat dari dosa-dosanya; karena orang yang bertaubat seperti orang yang tidak berbuat dosa sama sekali. Apalagi jika setelah bertaubat dia memperbaiki diri dan melakukan amal-amal salih sehingga mengangkat derajatnya di hadapan Allah.

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa kemuliaan seorang hamba tidaklah diukur dengan banyaknya harta, tingginya jabatan atau ketenaran. Akan tetapi kemuliaan itu dinilai dari ketakwaan. Ketakwaan yang benar-benar berakar dari dalam hati, bukan ketakwaan anggota badan semata. Sebagaimana ketakwaan juga tidak bisa diwujudkan hanya dengan angan-angan belaka. Sebagaimana diisyaratkan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau memperindah penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.”

Dari sini kita pun bisa mengambil pelajaran bahwa sesungguhnya dakwah tauhid bukan semata-mata dakwah yang menitik beratkan aqidah dan kosong dari amalan. Dakwah tauhid memadukan antara berlepas diri dari syirik dengan mewujudkan penghambaan dengan amal-amal salih. Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)

Beribadah kepada Allah artinya tunduk dan patuh kepada Allah dengan melaksanakan perintah dan larangan-Nya dengan dilandasi kecintaan dan pengagungan. Beribadah kepada Allah adalah dengan iman dan amal salih, bukan semata-mata dengan keyakinan hati. Tentu saja iman kepada Allah atau tauhid adalah amalan yang paling utama, tetapi itu bukan berarti dakwah tauhid melalaikan dakwah terhadap amal-amal lain yang juga sangat penting seperti mendirikan sholat, berdzikir, menimba ilmu, dan berbakti kepada orang tua. Semuanya harus berada di dalam bingkai tauhid. Bahkan tauhid kepada Allah itu pun menjadi bagian paling mendasar dari akhlak mulia.

Asas Yang Tidak Boleh Dilupakan

Imam Bukhari di dalam Sahihnya pada bagian Kitab at-Tauhid membawakan sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbas yang mengisahkan diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Di dalam hadits itu terkandung pelajaran berharga bagi setiap da’i, bahwa materi paling penting yang harus diajarkan adalah tauhid.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah…” (HR. Bukhari)

Dalam sebagian riwayat hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, “…Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka ialah ibadah kepada Allah.” (HR. Muslim)

Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa sesungguhnya ibadah kepada Allah hanya bisa diterima jika dilandasi dan dibingkai dengan tauhid. Hakikat tauhid itu adalah memurnikan segala bentuk ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Artinya, sebesar dan sehebat apa pun suatu amal jika tercampuri syirik menjadi sirna dan sia-sia…

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila datang tafsiran dari sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai makna ayat (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Beliau menafsirkan -sebagaimana masyhur dalam kitab tafsir- maksudnya adalah, “Supaya mereka mentauhidkan-Ku.”

Karena itulah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah -yang disebut-sebut oleh sebagian kalangan sebagai pelopor paham Wahabi [?!]- menyatakan di dalam salah satu risalahnya, bahwa ‘Ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai tauhid, sebagaimana halnya sholat tidak dinamakan sholat kecuali jika disertai thaharah/bersuci…’

Betapa mirip ungkapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini dengan penjelasan seorang ahli tafsir al-Qur’an dari kalangan sahabat nabi yaitu Abdullah bin ‘Abbas. Sampai-sampai dinukilkan oleh Imam al-Baghawi dalam tafsirnya perkataan Ibnu ‘Abbas, “Semua ungkapan ibadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an, maka maksudnya adalah perintah untuk bertauhid.”

Apa gerangan faidah yang bisa kita petik dari contoh ini? Ya, hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa sesungguhnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di surga- tidaklah membawa ajaran baru yang menyimpang dari jalan para ulama Islam terdahulu. Bahkan apa yang beliau ajarkan bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih; yaitu para sahabat radhiyallahu’anhum ajma’iin

Apakah dengan kenyataan semacam ini kita berani mengatakan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas membawa paham Wahabi?! Subhanallah…Apa yang akan anda ucapkan di hadapan Allah ketika anda telah mencoreng muka seorang sahabat yang mulia? Apa yang akan anda ucapkan di hadapan Allah ketika seorang ulama besar dan pembaharu di masanya berjuang keras membela tauhid dan menjelaskan akidah yang murni ini kepada umat sebagaimana jalan para sahabat lantas anda justru mencemoohnya, mengusir para da’i dan kajian tauhid yang menegakkan agama-Nya?!

Belajar Tauhid Sebuah Kewajiban

Telah dimaklumi bersama, bahwa tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah. Ibadah ini tidak akan diterima kecuali disertai dengan tauhid. Sebagaimana wajib memahami makna ibadah maka wajib pula memahami makna dan hakikat tauhid.

Ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan kepada Allah dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah dilandasi dengan puncak kecintaan dan puncak perendahan diri. Ibadah mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan; yang tampak dan tersembunyi. Ibadah harus murni untuk Allah, tidak boleh tercampuri syirik. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik; inilah hakikat tauhid.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan kepahaman (fikih) dalam hal agama ini luas mencakup perkara pokok dan cabang-cabangnya. Dengan demikian memahami tauhid secara khusus dan akidah secara umum merupakan ilmu dan pemahaman yang paling mendasar dan paling wajib untuk dipahami. Karena itulah para ulama menyebut ilmu tauhid sebagai fikih akbar.

Ilmu tauhid memberi pondasi bagi setiap muslim dalam melakukan amal dan ketaatan. Ilmu tauhid inilah yang akan membuatnya bisa membedakan antara iman dan kekafiran, tauhid dan syirik, serta hal-hal yang bisa memperkuat atau melemahkannya. Perealisasian tauhid -sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan- bermakna ‘pemurnian tauhid dari syirik, bid’ah, dan maksiat’. dengan demikian setiap muslim harus mengenali hal-hal yang merusak tauhidnya dan menjaga diri darinya. Dan hal itu tidak bisa dikerjakan kecuali dengan landasan ilmu.

Sayangnya di masa sekarang ini banyak diantara kaum muslimin yang tidak paham tauhid sehingga mereka terseret dalam keyakinan atau amalan syirik dalam keadaan tidak sadar. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi ketika kesesatan itu dibela mati-matian dengan dalih mempertahankan tradisi nenek-moyang atau demi menyemarakkan dunia pariwisata. Yanglebih parah lagi ketika hal itu dimotori oleh para pembesar dari kalangan penguasa atau tokoh agama. Jadilah syirik dibungkus dengan kedok kecintaan kepada wali dan orang salih. Jadilah syirik dikemas dalam topeng pelestarian kearifan lokal dan menjaga keragaman budaya.

Ini semuanya berangkat dari ketidakpahaman terhadap tauhid dan syirik. Karena itulah mereka yang berjuang keras membela tauhid dianggap kolot dan kaku serta ekstrim. Di sisi lain orang-orang yang mengabdi kepada hawa nafsu dan menyebarkan pemikiran rusak diagung-agungkan sebagai tokoh cendekiawan dan pelopor persatuan. Inilah salah satu bentuk tipu daya setan; menghiasi kebatilan dengan ucapan dan propaganda yang menawan… Allahul musta’aan.   

Sebagian ulama pun memberi petuah, “Wajib atasmu meniti jalan kebenaran, janganlah kamu sedih karena sedikitnya orang yang berjalan di atasnya. Dan jauhilah olehmu jalan-jalan kebatilan, serta janganlah gentar karena banyaknya orang yang binasa.”

Apabila belajar tauhid sudah dianggap asing bahkan tidak diperlukan, tentu pemahaman tauhid semakin rancu di tengah umat. Jadilah kebenaran sebagai barang langka dan dimusuhi manusia. Sementara kebatilan dan kemungkaran terus dipromosikan dengan alasan kebebasan berpendapat dan iklim demokrasi. Apakah makna kebebasan jika manusia justru dibuat terbelenggu oleh jerat-jerat setan dan apa makna kebebasan jika manusia justru diperbudak oleh hawa nafsunya?

Dalam salah satu ceramahnya, Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menegaskan, ‘jangan sampai kita berada pada suatu keadaan dimana kita merasa sudah tidak butuh lagi tambahan ilmu tentang tauhid’. Jangan sampai kita seperti itu… Sebab itu adalah tanda kehancuran!

Mengamalkan Ilmu

Setiap hari kita berdoa kepada Allah untuk diberi hidayah menuju jalan yang lurus. Hakikat jalan lurus itu adalah mengenali kebenaran dan mengamalkannya, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya Taisir al-Karim ar-Rahman.

Dengan kata lain, hidayah itu mencakup ilmu dan amalan. Ilmu sebagai landasan dan pedoman sebelum beramal, dan amalan itu sendiri sebagai tujuan dari ilmu yang dipelajari. Ilmu laksana pohon dan amal laksana buahnya. Orang yang berada di atas jalan yang lurus artinya memiliki ilmu yang benar dan mengamalkan ilmunya itu. Oleh sebab itu para khalifah setelah nabi disebut sebagai khalifah yang rasyid dan mahdiy. Rasyid artinya lurus; disebabkan mereka mengamalkan ilmunya, sedangkan mahdiy artinya diberi petunjuk; disebabkan mereka berilmu dengan benar.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dipuji oleh Allah karena beliau tidak sesat/dholal dan tidak menyimpang/ghawayah. Tidak sesat karena beliau diberi ilmu oleh Allah dan tidak menyimpang karena beliau diberi taufik untuk mengamalkan ilmunya. Orang yang tidak sesat berarti mendapatkan petunjuk, dan orang yang tidak menyimpang berarti berperilaku yang lurus/rusyd.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan kepada kita untuk berdoa kepada Allah setiap selesai sholat subuh meminta tiga perkara, diantaranya adalah ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Sebagaimana kita butuh tambahan ilmu maka kita juga butuh tambahan amal. Oleh sebab itu kita dapati sebagian ulama salaf mengungkapkan penyesalannya karena betambah usia dan berlau hari dalam kehidupannya sementara tidak bertambah amalnya.

Amal itu sendiri memiliki cakupan yang sangat luas, berupa ucapan lisan, keyakinan hati, dan perilaku dengan anggota badan. Amal-amal yang tampaknya kecil bisa menjadi besar ketika disertai dengan niat yang mulia dan lebih utama. Sebaliknya, amal yang kelihatan besar bisa menjadi kecil bahkan sirna gara-gara niat yang tidak lurus atau menyimpang dari keikhlasan. Amal yang paling utama adalah iman kepada Allah dan rasul-Nya. Oleh sebab itu pondasi Islam adalah dua kalimat syahadat yang mencerminkan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya.

Baik tidaknya amalan dinilai dari keikhlasan dan kesesuaiannya dengan tuntunan. Semakin ikhlas maka semakin baik, dan semakin sesuai dengan tuntunan maka semakin baik. Kedua hal ini menjadi syarat diterimanya amalan; ikhlas dan mengikuti tuntunan. Keikhlasan yang lenyap menjadi sebab pelakunya terjerumus dalam syirik, sementara lenyapnya kesetiaan kepada tuntunan menyebabkan pelakunya bergumul dalam kotoran kebid’ahan.

Orang yang berilmu tetapi tidak beramal maka menyerupai penyimpangan ala Yahudi, sementara orang yang beramal tanpa ilmu menyerupai kekeliruan model Nasrani. Jalan Islam adalah jalan yang memadukan antara ilmu dan amalan, antara niat yang baik dengan cara yang benar. Kehilangan niat baik akan membuat orang memperturutkan hawa nafsu dan menyimpang dari syari’at, sementara kehilangan cara yang benar akan menjatuhkan diri ke dalam kesesatan.

Membuat Sebuah Kesalahan

Kita mengakui, bahwa manusia memiliki potensi berbuat jahat, sebagaimana manusia juga berpotensi melakukan kebaikan. Allah telah mengilhamkan kepada jiwa jalan kefajiran atau ketakwaannya. Namun, yang beruntung ialah mereka yang menyucikan jiwanya…

Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa setiap manusia pasti banyak melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah ialah yang selalu bertaubat kepada Rabbnya. Taubat dari dosa membuat pelakunya mendapatkan ampunan sekaligus kecintaan dari Allah. Taubat itulah jalan yang mengantarkan manusia meraih kebahagiaan.

Kita tentu masih teringat kisah kejujuran Ka’ab bin Malik radhiyallahu’anhu dan dua orang temannya yang sama-sama berbuat kesalahan karena tidak ikut terjun dalam medan perang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Taubat mereka telah diabadikan di dalam Kitabullah dan menjadi pelajaran bagi umat akhir zaman. Allah pun menerima taubat mereka dari atas langit sana… Sebuah kebahagiaan tak terkira bagi kaum beriman yang takut akan hukuman Rabbnya…

Kebahagiaan serupa juga dirasakan oleh para salaf ketika mereka telah mengenal islam dan mendapatkan taufik di atas kebenaran setelah sebelumnya bergelimang kejahatan. Hidayah itu sangat mahal dan sangat bernilai bagi mereka, sehingga mereka rela tinggalkan kemewahan dan kekuasaan demi menyelamatkan agama dan kehidupannya. Mereka tidak ingin termasuk golongan orang-orang yang ‘mengenali nikmat-nikmat Allah lalu justru mengingkarinya..’

Taubat itu hanya akan terbit ketika seorang hamba mengenali letak kekurangan, keteledoran, dan kesalahan dirinya. Dia akan berterus-terang di hadapan Rabbnya; bahwa dirinya telah bersalah dan bersimbah dosa. Tidak ada yang diharapkan olehnya selain ampunan dari Rabbnya.

Siapakah anda -wahai saudaraku- yang merasa bersih dari dosa dan kezaliman? Sementara manusia yang paling mulia setelah para nabi -yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq- telah diajari oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berkata di dalam doanya ‘Allahumma inni zhalatmu nafsi zhulman katsiira’ yang artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dengan banyak kezaliman…”

Wahai manusia, apa yang membuat kita pongah dan merasa hebat?

Apakah anda merasa hebat dengan tumpukan dosa dan genangan maksiat di dalam relung hati.. Apakah anda merasa tinggi dan mulia dengan kotoran kezaliman dan bercak kedurhakaan di dalam tingkah laku dan ucapan? Siapakah kita ini wahai saudaraku, bukankah kita adalah manusia yang kerapkali terjerumus dalam kesalahan?! Apa yang membuat kita enggan mengakui kesalahan? Apa yang membuat kita bertahan di atas kekeliruan?

Tidaklah mulia kaum yang bertakwa kecuali karena mereka terus menerus beristighfar dan bertaubat kepada Rabbnya. Semakin besar kedudukan Allah di mata seorang hamba semakin besar pula taubat dan istighfar yang dipanjatkannya. Karena dia menyadari bahwa hak-hak Allah jauh lebih besar daripada ketaatan yang dia kerjakan. Maka tidaklah dia memandang Rabbnya kecuali senantiasa mencurahkan kebaikan, dan tidaklah dia menilai dirinya kecuali penuh dengan kekurangan…

Membangun Pokok Syukur

Syukur adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Allah memerintahkan kita untuk bersyukur kepada-Nya dan menjanjikan bahwa dengan syukur akan membuat nikmat semakin bertambah. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama; nikmat apabila disyukuri akan menetap, tetapi jika diingkari/dibalas dengan kekafiran maka ia menjad lenyap.

Syukur kepada Allah harus meliputi tiga wilayah. Wilayah pertama ialah keyakinan dan pengakuan di dalam hati bahwa nikmat itu semuanya datang dari-Nya. Bukan menyandarkan nikmat itu kepada diri dan kemampuannya. Wilayah kedua yaitu syukur dengan lisan; dengan ia memuji Allah dan menyanjung-Nya dalam ibadah dan ketaatan secara lisan. Wilayah ketiga adalah memanfaatkan nikmat yang telah diberikan Allah dalam perkara yang membuat Dia ridha.

Para ulama juga menekankan bahwa hakikat syukur itu adalah dengan menaati Dzat yang telah memberikan nikmat. Dengan demikian orang yang bersyukur akan tunduk kepada perintah dan larangan Allah. Dia laksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Termasuk di dalam cakupan syukur ini adalah taat kepada Rasul-Nya; karena ketaatan kepada Rasul merupakan ketaatan kepada Allah yang telah mengutusnya. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa’ : 80)

Pada hakikatnya syukur merupakan aplikasi dari rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya. Tidak ada kebaikan kecuali berasal dari nikmat-Nya dan tidak ada kebahagiaan kecuali berada di bawah kekuasaan dan takdir-Nya. Oleh sebab itu seorang yang bersyukur kepada Allah dengan makna yang sebenarnya telah membuktikan cintanya kepada Rabbnya. Karena itulah Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam mengungkapkan perasaannya ketika ditanya mengapa beliau bersungguh-sungguh dalam beribadah, “Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?” Ya, hamba yang terbaik adalah yang paling pandai dalam bersyukur.

Semakin besar cinta seorang hamba kepada Rabbnya semakin besar pula perwujudan syukur itu di dalam hidupnya. Allah telah mengabarkan bahwa kaum beriman sangat dalam cintanya kepada Allah. Allah juga mengabarkan bahwa bukti kecintaan kepada Allah adalah dengan mengikuti rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)

Dengan begitu setiap muslim sejati akan tunduk kepada ajaran nabi-Nya. Mereka akan berhukum dengan ketetapan dan aturan Rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidak pantas bagi seorang lelaki beriman dan seorang perempuan beriman apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka…” (al-Ahzab : 36)

Ajaran Nabi yang terbesar dan paling utama adalah tauhid kepada Allah. Inilah ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan/memerintahkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik.” (al-Israa’ : 23).

Tauhid inilah misi dakwah setiap rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar kecuali Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25)   

Karena itulah tauhid merupakan pokok agama sekaligus pokok syukur kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Karena hanya Allah yang menciptakan dan memberi rezeki maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Marilah kita terus belajar bersyukur kepada-Nya.

Ringan Tetapi Besar Maknanya

Kita sebagai muslim tentu telah mengikrarkan dua kalimat syahadat. Kita juga selalu mendengar dua kalimat syahadat itu dikumandangkan setiap kali masuk waktu sholat lima waktu. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Itulah makna dari kedua kalimat syahadat yang kita ucapkan.

Ya, ringan untuk diucapkan tetapi mengandung makna yang sangat dalam. Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah merupakan pernyataan tentang keyakinan kaum beriman bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Inilah yang biasa disebut oleh ulama dengan istilah tauhid uluhiyah; yaitu mengesakan Allah dalam hal ibadah. Artinya kita menujukan ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya.

Adapun persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah berisi pernyataan sikap kita sebagai hamba Allah bahwa kita mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mewujudkan nilai-nilai penghambaan kepada-Nya. Tidak ada jalan bagi kita untuk beribadah kecuali jalan yang ditempuh dan diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Makna dari kedua kalimat syahadat itu pun mengisyaratkan terhadap dua syarat diterimanya ibadah; bahwa ibadah harus ikhlas karena Allah dan sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini pula yang tercakup dalam ayat Allah (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Amal tidaklah disebut sebagai amal salih kecuali apabila sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak dikatakan ikhlas kecuali apabila bersih dari syirik. Dengan demikian setiap hari kita selalu menetapkan di dalam hati kita bahwa segala bentuk ibadah kita itu harus ikhlas untuk Allah dan harus bersih dari kotoran riya’, ujub, sum’ah, syirik, dsb. Sebagaimana kita juga menetapkan di dalam jiwa bahwa kita tidak akan mendahulukan pendapat dan ketetapan tokoh mana pun di atas sabda dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak sedikit orang yang mengaku muslim tetapi telah menodai kedua kalimat syahadatnya. Bisa jadi dia sholat dan bersedekah tetapi mungkin sholat dan sekedahnya kurang ikhlas. Bisa jadi dia berdakwah atau membantu sesama tetapi cara-caranya menyelisihi jalan yang digariskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tentu ingat, bahwa Islam tidak mengenal kaidah sesat yang mengatakan bahwa ‘tujuan menghalalkan segala cara’. Kita juga tidak mengenal prinsip gadungan yang meneriakkan ‘yang penting ‘kan niatnya’. Kita juga sangat tidak mengenal keyakinan yang mengklaim bahwa semua agama membawa ke surga.

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul itu dan mengikuti selain jalan kaum beriman, niscaya Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan masukkan dia ke dalam Jahannam, dan sungguh Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)  

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikit pun penolong.” (al-Maa-idah : 72)

Ada yang berkata kepada al-Hasan, “Sebagian orang mengatakan: Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia pasti masuk surga.”? Maka al-Hasan menjawab, “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah kemudian dia menunaikan konsekuensi dan kewajiban darinya maka dia pasti masuk surga.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah, hal. 40)

Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah laa ilaha illallah adalah kunci surga?”. Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi tidaklah suatu kunci melainkan memiliki gerigi-gerigi. Apabila kamu datang dengan membawa kunci yang memiliki gerigi-gerigi itu maka dibukakanlah [surga] untukmu. Jika tidak, maka ia tidak akan dibukakan untukmu.” (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 40)

Anda muslim? Ya. Semestinya kita konsekuen dengan kandungan dua kalimat syahadat ini…

Demikian sedikit catatan faidah yang bisa disajikan dalam kesempatan ini. Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan beramal salih.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-26/